Aku masih ingat kejadian itu. Di suatu siang, gerobak mie ayam ikut menjadi
saksi sebuah ukiran indah terlukis di wajahmu. Lebih indah dari rangkaian warna
pelangi yang muncul mengusir langit mendung. Lebih indah dari sinar kuning keemasan yang mengantar kemunculan sang surya naik ke
tahtanya. Itu adalah senyummu, Ma. Senyum sumringah yang kau ukirkan di wajahmu
saat kau tahu anakmu berhasil mencetak prestasi pertamanya di bangku SMP.
Kala itu senyummu terasa berbeda. Bukan lagi senyum yang selalu kau berikan
untuk membesarkan hatiku yang tak pandai mengukir prestasi. “Anak mama hebat”,
“Pinter, anak mama”. Begitu selalu
katamu sambil tersenyum saat melihat nilai raporku yang sepi prestasi. Tak
pernah sekalipun kau marah, seperti yang ditakutkan teman-temanku setiap hari
pembagian rapor tiba. Kau selalu meyakinkanku kalau suatu saat aku bisa menjadi
anak hebat.