Megah Dalam Senyum


Aku masih ingat kejadian itu. Di suatu siang, gerobak mie ayam ikut menjadi saksi sebuah ukiran indah terlukis di wajahmu. Lebih indah dari rangkaian warna pelangi yang muncul mengusir langit mendung. Lebih indah dari sinar kuning keemasan  yang mengantar kemunculan sang surya naik ke tahtanya. Itu adalah senyummu, Ma. Senyum sumringah yang kau ukirkan di wajahmu saat kau tahu anakmu berhasil mencetak prestasi pertamanya di bangku SMP.

Kala itu senyummu terasa berbeda. Bukan lagi senyum yang selalu kau berikan untuk membesarkan hatiku yang tak pandai mengukir prestasi. “Anak mama hebat”, “Pinter, anak mama”.  Begitu selalu katamu sambil tersenyum saat melihat nilai raporku yang sepi prestasi. Tak pernah sekalipun kau marah, seperti yang ditakutkan teman-temanku setiap hari pembagian rapor tiba. Kau selalu meyakinkanku kalau suatu saat aku bisa menjadi anak hebat.

Cinta Bukan Pujangga

Tiba-tiba aku merindukannya…
Seorang pria bertubuh besar yang tak pandai berkata cinta. Pria yang sudah lama ku kenal namun tak sekalipun pernah ku dengar kata cinta darinya. Tak pernah pula dia mengatakan rindu padaku bila sudah lama kami tak berjumpa.

Dia senang sekali duduk di teras ditemani kopi hitam dan sebungkus rokok. Terkadang bersama teman. Namun lebih sering kulihat dia duduk di sana sendirian. Sambil menyeruput kopi atau menghisap rokoknya, dia pandangi langit malam yang jarang dihiasi bintang. Tak peduli banyak nyamuk yang mencium kulitnya, dia tetap duduk di sana. Hingga malam semakin larut dan matanya pun mulai terkantuk. Tapi seolah begitu menikmati suasana di sana, dia pun tetap tak beranjak. Tak beranjak hingga akhirnya aku tiba di hadapannya.