After Graduation Syndrom

“Selamat, Anda dinyatakan lulus.”

Hore… !!!

Perasaan senang, lega, dan haru bercampur aduk jadi satu. Tangan yang sebelumnya dingin, kembali hangat. Irama detak jantung yang tak beraturan, kini kembali ke tempo normal. Pikiran yang sebelumnya overload, jadi plong banget. Rasa syukur berkali-kali dipanjatkan. Ucapan selamat pun berdatangan. Mulai dari keluarga, sahabat, teman, dan dosen. Saat itu rasanya bebas banget. Bisa tersenyum lepas. Setidaknya untuk 10 menit. Karena setelah itu, muncul sebuah pikiran baru di tengah kekosongan: “What should I do now?”

Revisi!

Jawaban itu muncul beberapa menit kemudian. That’s right. Masih ada hutang revisi dan juga jurnal yang harus diselesaikan. Then, setelah mengalahkan kemalasan yang menjajah pikiran dan badan, akhirnya bisa diselesaikan juga. Kali ini rasanya bukan cuma lega, tapi legaaaa banget. Keesokan harinya, begitu bangun tidur, rasanya badan seger banget. Lalu pikiran itu muncul lagi: “What should I do now?” Sudah tidak ada kuliah, skripsi, sidang, atau revisi. Jobless.

Refreshing!

Ah, bener banget. Nggak ada salahnya buat refreshing. Nonton DVD, main games, jalan-jalan. Lumayan buat menyegarkan pikiran. Pas minggu pertama sih, masih seneng-seneng aja. Masuk minggu kedua, STOP!!! Nggak bisa kelamaan kayak gini. I should do something worthier. Akhirnya coba buka internet buat cari lowongan pekerjaan.

“Dibutuhkan HRD”
“Dibutuhkan Recuitment officer”
“Dibutuhkan staf SDM”

Kebanyakan lowongan yang tersedia untuk background kuliah gue nggak jauh-jauh dari bidang HRD. Bukan ‘gue banget’. Selama kuliah, bidang psikologi yang gue paling nggak suka adalah PIO (Psikologi Industri dan Organisasi). So, I skipped those vacancies. I love research. Then, thanks God, there’s a research vacancy. Secercah harapan muncul. Semangat 45 berkobar untuk apply sebagai staf riset.

Tapi saat itu cuma satu lowongan yang tersedia. Idealisme gue untuk jadi seorang peneliti jadi sedikit goyah karena melihat temen-temen yang kirim lowongan ke sana sini untuk jadi staf HRD. So, ikut-ikutan manfaatin kesempatan, gue pun mengirim lamaran pada salah satu perusahaan besar. Dan akhirnya dapat panggilan untuk seleksi. Seneng banget rasanya. Ada kesempatan. Gue bela-belain pergi ke tempat yang belum pernah gue kunjungi buat ikut tes. Sendirian, nggak ada temen bareng. Bismillah aja, deh. Sampai beli sepatu baru juga (soalnya sepatu gue udah nggak layak pakai :D). Tes kemampuan dasar berhasil dilalui. Tapi kenapa hati gue masih setengah-setengah, ya? Pas isi data pribadi, dengan jujur gue bilang bahwa my passion is research. Sama sekali nggak menggambarkan keinginan untuk jadi staf HRD. Pas tes gambar, nggak niat sepenuhnya. Tiba saatnya wawancara, dipanggil urutan kedua, tapi nggak ngerasa deg-degan. Dari wawancara, gue dapat pengetahuan baru tentang bidang kerja yang ditawarkan. Masih blm minat. Gue pun nggak menunjukkan antusias untuk jadi staf HRD. I said that I love research. Setelah pulang dari sana, perasaan berubah jadi nothing to lose. Whatever, lah. Nggak terlalu berharap bisa diterima juga.

Hhh… Nungguin kabar dari lowongan riset nggak ada juga. Temen gue ada yang dipanggil wawancara (Kok gue nggak, ya? Hiks L). Tapi denger dari ceritanya, kok malah jadi ngerasa nggak PD, ya? Kayaknya nggak gampang buat lolos seleksi. Tesnya banyak dan berbobot. Semangat gue jadi turun. Pikiran-pikiran baru bermunculan.

“Apa gue bener-bener siap kerja full pikiran dan waktu?”
“ Bertemu dengan ‘garis-garis mematikan’ lagi? Tapi gajinya lumayan.”
“Atau gue coba apply jadi HDR lagi? Tapi kan gue nggak minat.”
“Ada nggak, ya, pekerjaan yang lebih santai, menarik, dan gajinya pun worth it?”
“Atau jadi penulis? Tapi itu bisa jadi job sampingan”
“Apa jadi entrepreneur aja, ya?”

Aih, kenapa jadi bingung kayak gini, ya? Apalagi setelah wisuda, alias resmi jadi pengangguran, stadiumnya jadi tambah parah. I hate to waste my time. But don’t know what to do selain menulis, main games, nonton, atau jalan-jalan.

Am I sick? Is it after graduation syndrome? Do you feel what I feel?

5 comments:

Winda said...

Yen, kangen.... :'( BTW fotonya blom gw kirim ya. Nanti... soalnya ga bisa di-attach. Gw lagi binun knapa ga mau di-attach.

diK@ said...

hoho...gw juga punya pengalaman yang kurang lebih sama kayak lo...

tapi gw dalam kondisi yang sedikit beda...

gw itu uda kerja dibidang yang gw suka dari sebelum gw sarjana...gw kerja di dunia broadcast...alhamdullah gw berhasil jadi penyiar dan presenter...

tapi pas gw sarjana...gw ngerasa gw stag...gw ga berkembang...karena gw hanya berada pada lingkup lokal...

akhirnya gw putusin untuk nyoba ke tingkat nasional...ya karena idealisme gw..gw tetep nyoba di bidang yang sama yaitu broadcasting gtu..
tapi neng...gile aje...gw uda nyoba berbulan-bulan...tapi hasilnya masih nihil...

akhirnya gw sadar...klu didepan mata gw banyak peluang tapi bukan dibidang broadcast...

akhirnya idealisme gw juga perlahan luluh.....

mata gw mulai kebuka klu gw itu uda di kasih karunia dalam bentuk "kesempatan" yang harusnya gw syukurin...

akhirnya gw mulai nyoba ngelamar di bank..berhubung gw lulusan akuntansi...
dan uda mulai ada hasilnya...

yah...mudah-mudahan aja pengalaman gw bisa berguna buat lo,hehe...

gud luck yah...

gw yakin lo pasti dapat yang terbaik...AMIN

Yeyen Sundari said...

Thank's ya sharing-nya.

minat gw krj di riset udh sdkt bkurang krn byk pertimbangan n pengalaman yg gw alami.

gw mulai coba manfaatin kesempatan yang ad tp msh sdkt pertahanin idealsm gw (yg ini ga bhub sm riset).

gd luck jg 4 u...

buihmimpi said...

3kalimat untuk yeyen. (5 sama yang ini.)

"teruslah mencoba, jangan menyerah!!!"

"g juga merasakan kebingungan antara idealisme dan mengambil kesempatan yang ada walaupun bukan bidang g"

"shalat istikharah gih??!!!"

buihmimpi said...

main-mainke blog g yah......
buihmimpi.blospot.com